Seorang yang Menulis

    Seorang yang menulis (apapun yang ditulisnya) sesungguhnya tanpa disadari telah beranjak dari sekitarnya ketika ia menulis. Ketika itu pikiran dan jiwanya bebas mengembara pada satu dimensi dimana ia menghendakinya. Ia sendiri barang kali hidup di realita yang tak sama dengan lingkungan dan kesehariannya. Sebuat saja ketika seseorang misalanya menulis puisi, meski sehari-hari dipekakkan dengan hiruk pikuk lingkungannnya, tapi tetap bisa menghadirkan deskripsi akan kesejukan, ketenangan, kedamaian yang seolah benar-benar ia rasa, dan berada pada wilayah yang diciptakannya itu.
    Lebih jauh, seorang yang menulis adalah seorang yang merdeka dengan kehendak dan peribadinya. Secara ‘alamaiah’ ia tentu tak akan mungkin menulis sesuatu yang berseberangan dengan suara hatinya, dengan apa yang menjadi pemikiran-pemikirannya meski kadang antara suara hati, pikiran itu dan realitanya agak berjauhan karena kelemahannya, namun tetap saja yang ditulis itu adalah kejujuran dari hatinya. Ia tak bisa dipaksa untuk mengikuti kecenderungan yang berlaku di dunia (trend) sebab ia mempunyai prinsip personal yang tak ada siapa yang memengaruhinya.

    Barangkali kita bisa melihat orang bicara; hari ini lain, dan besoknya juga lain. Hari ini orang ini dibela, dan besok orang itu pula yang akan dijatuhkannya. Namun yakinlah hal tersebut sangat jarang terjadinya dalam sebuah bentuk tertulis, sebab ketika orang menulis ada serangkaian proses berpikir yang dilaluinya, hingga dia menulis bukan berdasarkan hawa nafsu yang terlontar tanpa kendali, sekenanya. Ingatkah kita pada seloroh yang memojokan bangsa kita, Indonesia beberapa tahun silam? Pendapat orang luar tentang perbedaan cara bicara kita dengan bangsa lain; kita ketika menjawab suatu pertanyaan yang diajukan, atau ketika berbicara mengeluarkan pendapat begitu cepat, beda dengan yang lain, lambat. Tapi bukan karena kehebatan kita tapi katanya karena orang lain berpikir dulu sebelum bicara.
    Seorang yang menulis….Ah, tapi apalah artinya jika tak kunjung paham dengan apa yang ditulis sebab ketika menulis tidakkah merasa menasehati diri sendiri dengan keidealan kata yang dikemukakannya.

2 komentar:

Sang Petualang mengatakan...

Menulis sebenarnya menghadirkan keidealan ya kak? apakah mesti mengurangi subjektivitas kak? agar tidak terlalu terbentur pada paradigma umum. Sebab hal-hal itu yang kiranya banyak terjadi dan menimbulan letupan emosi dimana-mana

(Yulmaini Al Manthani)

Sang Petualang mengatakan...

Tidak, malah sebaliknya. Menurut sumber yang pernah kak baca subjektifitaslah yang kemudian membuat tulisan jadi berkarakter. hm bukankah subjektivitas itulah yang kejujuran ain?....Syafnihanifah

Posting Komentar